Puasa Mengikis Patriarkisme
Oleh: Nurman Ginting, M.Pd.I
Ramadhan Bulan wajib berpuasa agar manusia mencapai derajat takwa. Orang yang bertakwa tecermin lewat perilakunya yang lurus serta mampu menghadirkan kedamaian bagi sesama tanpa dihalangi sekat-sekat gender.
Di bulan suci ini Alquran diturunkan sebagai pedoman hidup untuk membedakan baik dan buruk.
Di bulan ini pula pintu amal kebajikan dibuka lebar dan ruang gerak setan (pengajak kejahatan) dipersempit melalui pengekangan nafsu. Begitulah pesan yang kerap disampaikan lewat mimbar-mimbar khutbah. Buah dari ibadah puasa yang benar adalah takwa. Orang yang bertakwa dibuktikan dengan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, yang membias lewat perilaku kebajikan dalam
hidup keseharian. Salah satu bentuk kebajikan tersebut adalah sikap adil terhadap perempuan.Selama ini tantangan yang dihadapi kaum Hawa dalam menjalankan peranannya adalah terbatasnya ruang penghargaan dan penghormatan akibat dari kuatnya arus patriarkisme, yang berujung pada tindakan kekerasan baik
fisik maupun psikis.
Hadirnya bulan Ramadan diharapkan mampu mengikis nafsu patriarkisme yang sudah mendominasi selama ini sehingga kaum perempuan bisa hidup lebih mantap dan aman tanpa dihantui ketakutan lantaran dominasi kaum laki-laki.
Menggapai cita-cita semacam itu memang tidak mudah dalam kehidupan keagamaan yang masih ritualistik-formalistik. Ibadah puasa yang bertujuan untuk meraih predikat takwa mesti dimaknai secara lebih mendalam, yakni takwa dalam makna spiritual dan sosial.
Takwa dalam konteks kehi-dupan sosial adalah sebuah aksi nyata berbuat kebajikan dalam makna yang tidak terbatas. Tidak sekadar khusyuk berhubungan dengan Tuhan, tetapi juga diikuti dengan berbuat baik terhadap sesama. Sebab tujuan takwa sangat berkaitan dengan kemampuan kontekstual, menfungsikan puasa sebagai media mencapai kesempurnaan diri baik secara individual maupun sosial.
Maka menjadi sangat penting untuk memikirkan persoalan perempuan terkait dengan hadirnya bulan Ramadan. Praktik ibadah puasa tidak bisa lepas dari peran kaum perempuan yang begitu besar. Kaum perempuanlah yang sesungguhnya banyak berjasa di bulan Ramadan ini.
Kekuasaan patriarkisme telah menjadikan perempuan sebagai kelompok manusia yang terus-menerus dibebani tanggung jawab domestik (mengurus rumah tangga); mulai dari dapur, sumur dan kasur. Ironisnya pekerjaan beruntun tersebut kerap kali tidak dihargai sebagaimana mesti-nya. Kesibukan yang begitu panjang menghiasi hari-hari. Itu seringkali terabaikan (kelelahannya tidak kelihatan) seolah-olah perempuan tidak melaku-kan apa-apa.
Pekerjaan domestik yang banyak menyita waktu tersebut hanya dianggap sebuah pengabdian yang mesti dijalani. Lebih-lebih di bulan Ra-madan. Beban perempuan bertambah berat karena harus menyiapkan segala perlengkapan berpuasa. Banyak suami yang tega membiarkan istrinya sibuk luar biasa dan tidak pernah berinisiatif untuk membantunya padahal memiliki waktu luang. Alasannya tidak layak laki-laki berbuat kethuk (ikut-ikutan di dapur).
Puasa selaiknya bisa menumbuhkan kepekaan dan ke-pedulian sosial, mengembangkan rasa solidaritas terhadap perempuan dengan menghapus tindak kekerasan maupun penindasan terselubung. Puasa menjadi tidak ada nilainya jika hanya terfokus pada menahan lapar dan dahaga. Sementara itu sensitivitas sosialnya tidak ada dan menutup mata dengan keadaan sekeliling.
Pengakuan kemusliman harus dibuktikan dengan perilaku luhur, meneladani kehidupan Nabi Muhammad yang selalu menyayangi para istrinya dan ikut terlibat dalam urusan rumah tanggal. Itu dimulai dari menjahit sepatu, memerah susu, dan pekerjaan-pekerjaan domestik lainnya.
Ibadah puasa Ramadan menjadi semacam training untuk menguji mental manusia sampai sejauh mana penghayatan keagamaannya. Apakah mampu menyempurnakan keimanan dalam wujud aksi nyata sehidupan sehari-hari, atau sekadar bangga menghadirkan seremonial tahunan tanpa perubahan apa pun.
*Penulis adalah Dosen FAI UMSU