Aspek Astronomis Ka’bah dan Dialektika Ulama Tentang Arah Kiblat
Oleh: Dr. Arwin Juli Rakhmadi, MA
Pengertian Kiblat (Ka’bah)
Kiblat atau Ka’bah merupakan tempat yang dituju kaum Muslimin tatkala shalat. Menghadap kiblat merupakan kemestian (syarat) untuk sahnya shalat yang dilakukan. Ka’bah berasal dari kata ‘al-muka’ab’, berikutnya disebut dengan Ka’bah. Ar-Râzî dalam “Mukhtâr ash-Shahhâh”nya mengatakan, Ka’bah disebut demikian karena bentuknya yang persegi empat (litarbî’ihi) dimana dalam tradisi Arab bangunan seperti ini mereka menyebutnya dengan ‘al-ka’bah’. Ka’bah juga berasal dari kata “al-Ka’b” yaitu tiang yang menjulang tinggi yang menyatu sisi depan dan belakangnya (al ‘azhm an-nâtî ‘inda multaqâ as-sâq wa al-qadam).
Kiblat dalam bahasa Arab bermakna ‘menghadap’ (al-muqâbalah) atau ‘arah’ (al-jihah) karena kaum muslimin menghadap kearahnya ketika shalat. Kata kiblat (‘al-qiblah’) tertera di dalam al-Qur’an, antara lain diterjemahkan dengan Kiblat (QS. Al Baqarah [2]: 142-145) dan tempat shalat (QS. Yunus [10]: 87).
Sejarah Ka’bah
Berdasarkan informasi QS. Ali Imran [3] ayat 96 dan QS. Al-Baqarah [2] ayat 125-127, Ka’bah merupakan bangunan pertama di permukaan Bumi yang dibangun sebagai tempat ibadah. Ka’bah dibangun pertama kali oleh Nabi Ibrahim as. dan putranya Ismail as., pendapat lain mengatakan pondasi dasar Ka’bah telah dibangun sejak masa Nabi Adam as. dan Nabi Syits as., bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa Ka’bah sejak dulu dibangun dan dipelihara oleh para Malaikat. Ka’bah memiliki banyak nama, antara lain: (1) Ka’bah [QS. Al Ma’idah [05]: 97], (2) al-Bait (rumah) & baitullah (rumah Allah) [QS. Ali Imran [03]: 96-97], [QS. Al-Anfal [08]: 35], [QS. Al-Hajj [22]: 26], [QS. Al-Quraisy [106]: 3], [QS. Al-Baqarah [02]: 125], [QS. Ibrahim [14]: 37], (3) al-Bait al-Haram (rumah suci) [QS. Al-Ma’idah [05]: 97], (4) al-Bait al-‘Atîq (rumah pusaka) [QS. Al-Hajj [22]: 29 & 33], [QS. Al-Hajj [22]: 33], (5) Qiblah (Kiblat) [QS. Al-Baqarah [2]: 144].
Bangunan Ka’bah senantiasa diagungkan oleh umat, Malaikat dan para Nabi. Setelah wafatanya Nabi Ibrahim as. dan putranya Ismail as., pemeliharaan Ka’bah di lanjutkan masing-masing oleh suku Jurhum, Khuza’ah, dan kabilah-kabilah Quraisy. Di awal datangnya Islam, Ka’bah dikelola oleh Abdul Muthalib, kakek baginda Nabi Muhammad Saw. Dalam sejarahnya, seperti di informasikan dalam al-Qur’an surat Al-Fiil [105] ayat 1-5, Ka’bah pernah hendak dihancurkan oleh Abrahah (Raja Habasyah/Ethiopia) dan pasukannya yang bergajah, namun berkat pertolongan dari Allah Swt., Ka’bah tetap aman. Abrahah dan pasukannya dilempari dengan batu berapi oleh sekelompok burung yang di dalam al-Qur’an disebut Ababil.
Dimasa Rasulullah Saw., berhala-berhala yang banyak bergantungan di dinding Ka’bah ditebas habis satu persatu hingga habis. Setelah itu Rasulullah Saw. memerintahkan Bilal ra. untuk mengumandangkan azan diatas Ka’bah sebagai pertanda dimulainya kehidupan dan cara pandang baru dalam mengagungkan Tuhan. Hingga kini, Ka’bah dan Masjidil Haram senantiasa ramai dikunjungi umat manusia dari seluruh penjuru dunia.
Konstruksi Astronomis-Geografis Posisi Ka’bah
Jarak rata-rata Ka’bah ke kota-kota utama di dunia berkisar 8000 KM s.d. 13000 KM, dimana Ka’bah berada di tengah kota-kota tersebut. Posisi tengah ini seirama dengan isyarat QS. Al-Baqarah [2] ayat 143 yang memposisikan Mekah atau Ka’bah serta orang-orang yang beribadah menghadapnya sebagai umat yang ‘wasathan’ (moderat). Hikmah geografis ini bagi umat Islam adalah memudahkan dalam menunaikan ibadah haji dan umrah dari berbagai penjuru dunia.
Selain itu, empat pojok atau rukun bangunan Ka’bah menunjukkan arah yang strategis. Melalui penelitian diketahui rukun Iraqi sebagai arah utara sejati sebagaimana halnya bukit Shafa dan Marwa, rukun Iraqi juga mengarah ke benua Eropa. Rukun Syami mengarah ke benua Amerika, rukun Yamani mengarah ke benua Afrika, dan rukun Hajar Aswad mengarah ke benua Asia.
Sementara itu arah tegak lurus sisi yang menghubungkan antara rukun Hajar Aswad dengan rukun Yamanî adalah arah terbit matahari pada musim dingin (syitâ’) dan dalam waktu yang sama menjadi posisi munculnya bintang Canopus (najm suhayl) pada waktu terbitnya pada arah Timur-Selatan. Sisi yang terletak antara rukun ‘Iraqî dan rukun Syâmî merupakan arah munculnya sekelompok bintang ‘dabb al-akbar’, yang orang Arab menyebutnya bintang banât na’sy.
Lebih lanjut melalui penelitian naskah dan filologi di Milan-Italia, ditemukan satu naskah manuskrip yang ditulis pada tahun 1290 M karya seorang ahli falak asal Yaman yang bernama Muhammad bin Abu Bakr al-Farisi. Dalam manuskrip ini dijelaskan bahwa terbukti Ka’bah dibangun bersesuaian rukun-rukunnya dengan empat pola arah pergerakan angin yang berhembus di kota Mekah dalam interval satu tahun. Empat pola pergerakan angin itu masing-masing disebut: (1) angin as-Shâbâ yang bertiup melalui rukun Hajar Aswad dan sekitarnya, atau disebut juga dengan angin timur, (2) angin al-Janûb yang bertiup pada rukun Yamani dan sekitarnya, (3) angin ad-Dabûr yang berhembus pada rukun sebelah barat dan sekitarnya, dan (4) angin as-Syimâl yang berhembus pada rukun sebelah utara.
Imam al-Ghazali (w. 505 H) dalam “Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn”nya menjelaskan, terdapat tiga tata cara dalam menentukan arah kiblat yang salah satu diantaranya melalui petunjuk angin syimâl, janûb, shâbâ dan dabûr. Sebagai misal, Masjid Amru bin ‘Ash di Mesir arah kiblatnya berpedoman pada terbitnya matahari pada musim dingin (syitâ’). Demikian juga di Irak, arah kiblatnya berpedoman pada terbenamya matahari pada musim dingin (syitâ’).
Hukum Menghadap Kiblat
Ulama (fuqahâ’) sepakat bahwa menghadap kiblat adalah syarat wajib shalat. Para ulama juga sepakat jika seseorang mampu melihat bangunan Ka’bah ketika shalat maka wajib menghadapnya secara yakin. Namun ulama berbeda pendapat jika Ka’bah tidak terlihat (ghair al-mu’âyin). Jumhur ulama (kecuali Syafi’iyah) berpendapat, yang diwajibkan menghadap arah Ka’bah saja (ishâbah jihah al-ka’bah). Hal ini berdasarkan hadis Nabi Saw. “ma baina al-masyriq wa al-maghrib qiblah” [diantara timur dan barat, kiblat]. Jika yang diwajibkan menghadap bangunan fisik Ka’bah (ishâbah ‘ain al-ka’bah) maka niscaya tidak sah shalat orang yang berada pada shaf sejajar memanjang, atau shalat dua orang yang saling berjauhan namun sama-sama mengarah ke kiblat. Dalam kondisi ini, yang menjadi kemestian hanya arah yang diusahakan secara realistis (biqadrihâ). Menurut Syekh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, inilah pendapat yang paling rajih menurutnya, Syekh Wahbah mengatakan “wa hadza huwa al-arjah ladayya”.
Ibn Rusyd (w. 595 H) dalam “Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid”nya memetakan menghadap arah kiblat ini pada dua hal, yaitu: (1) menghadap secara sungguh-sungguh (ijtihad), dan (2) menghadap secara sasaran (ishâbah). Konsekuensi dari dua hal ini adalah, jika yang dimaksud sebagai ijtihad, maka tidak perlu mengulangi shalat ketika terbukti arah kiblatnya tidak tepat dari arah yang sebenarnya, karena didasari pada usaha susngguh-sungguh (ijtihad). Namun jika yang menjadi acuannya sasaran (ishâbah), maka shalat harus diulang jika terbukti tidak tepat.
Diantara sebab perbedaan ulama dalam masalah ini adalah pengkiyasan arah kiblat dengan waktu shalat serta tunjukan (dilâlah) hadis terkait. Dalam fikih disepakati, bahkan merupakan ijmak, jika seseorang shalat sebelum waktu shalat tiba maka shalatnya tidak sah, dan wajiblah ia mengulang shalatnya. Dimana dalam penentuan waktu shalat dimaksudkan sebagai mîqât waktu, sedang dalam penentuan arah kiblat sebagai mîqât arah. Selain itu juga disebabkan perbedaan pemahaman terhadap hadis-hadis terkait.[] Penulis: Dosen FAI UMSU