Madrasah Astronomi Cairo
Oleh: Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA
Cairo adalah salah satu kota yang pernah memainkan peranan penting dalam sejarah peradaban Islam. Sampai hari ini Cairo (khususnya institusi Al-Azhar nya) masih menjadi destinasi pelajar dunia. Dalam sejarahnya, Cairo dilalui banyak dinasti (kerajaan) Islam, yaitu Fatimiyah, Tuluniyah, Ikhsyidiyah, Ayyubiyah, Mamalik, dan Ottoman.
Di era Daulah Fatimiyah, Cairo pernah menjadi pusat keilmuan dan memiliki perhatian cukup besar terhadap astronomi yang secara bersamaan ‘bersaing’ dengan kota Bagdad. Pengkajian astronomi dalam berbagai wadah (madrasah) telah berlangsung kala itu khususnya di era khalifah-khalifah Fatimiyah seperti Al-Mu’iz Lidinillah, Al-Aziz Billah, dan Al-Hakim Bi Amrillah.
Salah satu bukti geliat astronomi di era Fatimiyah adalah pendirian institusi sejenis perpustakaan bernama “Dar al-Hikmah”. Perpustakaan ini dibangun di zaman Al-Hakim Bi Amrillah yang bersisi sekitar 100 ribu jilid buku. Diantara koleksi perpustakaan ini adalah dua buah bola astronomi yang merupakan kreasi Ptolemeus, sedangkan lainnya kreasi Abdurrahman ash-Shufy (w. 376 H/986 M). Betapapun motivasi awal pembangunan perpustakaan ini adalah guna penyebaran dan pengajaran mazhab Syiah, namun di dalamnya mencakup pengkajian astronomi dan kedokteran.
Khalifah Al-Hakim Bi Amrillah juga mendirikan sebuah observatorium di bukit Mukatam yang dipimpin oleh astronom Muslim terkenal bernama Ibn Yunus (w. 399 H/1008 M). Sang astronom ini hidup di dua zaman kekhalifahan yaitu Al-Aziz dan Al-Hakim. Ibn Yunus populer dan dikenal dengan observasinya yang dilakukan selama bertahun-tahun. Dia menulis sebuah zij (tabel astronomi) berjudul “az-Zaij al-Hakimy al-Kabir” yang sangat populer waktu itu. Zij ini disusun dan dikompilasi dari berbagai buku astronomi. Selain Ibn Yunus, terdapat satu nama lagi yang cukup populer ketika itu yaitu Ibn Haitsam (Alhazen), seorang ahli matematika, insinyur, ahli fisika, dan astronom, yang didatangkan dari Irak.
Puncak pengetahuan astronomi di Cairo juga terjadi di era Mamalik. Di era ini, Cairo (dan Damaskus) menjelma menjadi pusat ilmu dan mercusuar keilmuan dunia. Dalam bidang astronomi, di era ini telah berlaku tradisi astronomi yang matang dan mapan. Tradisi penelitian dan observasi menjadi bagian integral ketika itu. Astronomi ketika itu telah memiliki corak dan karakter yang berbeda dengan astronomi sebelumnya. Sebelum era Mamalik, kajian astronomi cendrung bersifat Ptolemaik atau astronomi matematis yang dominan bersumber dari Almagest. Namun di era Mamalik, astronomi mulai mengalami pergeseran ke arah alami (thabi’i) yang memokuskan pada keserasian dan keselarasan dengan gambaran ilmiah terhadap alam, bersifat praktis dan berdasarkan observasi. Secara lebih spesifik lagi, astronomi di era ini lebih diarahkan pada hal-hal yang bersifat praktis seperti menentukan waktu-waktu salat, arah kiblat, awal bulan, dan lain-lain. Selanjutnya berbagai kreasi dan akselerasi astronom di zaman ini termanifestasikan dalam bentuk alat-alat astronomi dan dokumentasi-dokumentasi perhitungan (zij).
Di era Mamalik Mesir juga telah muncul satu institusi astronomi bernama mikat (miqat), yaitu sebuah cabang astronomi yang berkaitan dengan pengaturan waktu (timekeeping) berdasarkan rotasi harian Matahari dan bintang-bintang untuk penentuan waktu dan khususnya mendefinisikan waktu-waktu salat. Terdapat sejumlah astronom ketika itu yang berprofesi sebagai ‘juru waktu’ (muwaqqit) yang berasosiasi kepada salah satu mesjid atau institusi agama yang bertugas menentukan waktu-waktu salat. Betapapun terdapat juga sejumlah astronom yang berprofesi sebagai muwaqqit namun tidak berasosiasi kepada salah satu mesjid atau institusi agama.
Mikat merupakan disiplin ilmu mandiri dalam Islam yang muncul dan populer di Cairo. Disiplin ilmu ini belum muncul sebelum peradaban Islam. Secara historis, mikat merupakan disiplin keilmuan astronomi asli hasil akselerasi dan kreasi astronom Muslim khususnya era Mamalik di Cairo. Menurut King, dasar-dasar mikat pertama kali dimunculkan Ibn Yunus dan berkembang pesat pada abad ke-7 H/13 M.
Dalam peradaban Islam, berbagai hasil perhitungan dan observasi umumnya tercatat dalam sebuah zij. Sedangkan mikat pada dasarnya merupakan bagian dari ilmu zij yang mempelajari tentang rotasi harian Matahatri dan benda-benda langit lainnya. Diantara muwaqqit terkenal di Cairo adalah Al-Marrakusyi (abad ke-7 H/13 M), karya mikat terbesarnya adalah “Jami’ al-Mabadi’ wal Ghayat fi ‘Ilm al-Miqat”. Lalu Al-Maqsy (w. 675 H/1276 M), dia juga telah menyelesaikan sebuah risalah tentang teori jam Matahari dan satu set tabel untuk ketepatan waktu-waktu salat. Lalu Sibth al-Mardiny (w. 912 H/1506 M), seorang ahli astronomi, matematika, faraid, dan ‘juru waktu’ (muwaqqit) di Masjid Al-Azhar, dan muwaqqit-muwaqqit lainnya.[] Penulis: Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU